Studi Islam secara etimologis merupakan
terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal
dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga
perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian
yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha
sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara
mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam,
baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya
bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga
dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di
kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya
dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan
umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta
membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya
dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan
untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku
di kalangan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi).
Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam
tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik
yang bersifat positif maupun negative.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam
tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang
Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia
orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama
pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih
mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan
kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran
agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa
akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan
pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan
umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat
bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa
keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa
pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung
bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap
pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan
pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya bersifat
rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman- telah berkembang
menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan
rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta
keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan
zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi
dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.
Dengan adanya kontak budaya modern dengan budya Islam,
mendorong para Ulama’ tersebut untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap
pandangan luar yang pada gilirannya pendekatan ilmiah yang bersifat rasional
dan objektif pun memasuki dunia Islam, termasuk pula dalam studi keislaman di
kalangan umat Islam sendiri. Maka, dengan menampilkan kajian yang objektif dan
ilmiah, maka ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal bisa
menjadi berkembang dan menjadi sangat relevan dan dibutuhkan oleh umat Islam
serta betul-betul mampu menjawab tantangan zaman
Tujuan Studi Islam
Studi Islam, sebagai usaha untuk mempelajari secara
mendalam tentang Islam dan segala seluk-beluk yang berhubungan dengan agama
Islam, sudah tentu mempunyai tujuan yang jelas, yang sekaligus menunjukkan
kemana studi Islam tersebut diarahkan. Dengan arah dan tujuan yang jelas itu,
maka dengan sendirinya studi Islam akan merupakan uasha sadar dan tersusun
secara sistematis.
Adapun arah dan tujuan studi Islam dapat dirumuskan
sebagai berikut: 1) Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya
(hakikat)agama Islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan
agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia; 2) Untuk mempelajari secara
mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran
serta operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan
peradaban Islam sepanjang sejarahnya; 3) Untuk mempelajari secara mendalam
sumber dasar ajaran agama islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana
aktualisasinya; 4) Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan
nili-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam
membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban
manusia pada zaman modern ini.
Selanjutnya dengan tujuan-tujuan tersebut diharapkan agar
studi Islam akan bermanfaat bagi peningkatan usaha pembaruan dan pengembangan
kurikulum pendidikan Islam pada umumnya, dalam usaha transformasi kehidupan
sosial buday sert agama umt Islam sekarang ini, menuju kehidupan sosial-budaya
modern pada generasi-generasi mendatang, sehingga misi Islam sebagai rahmah
lil ‘alamin dapat terwujud dalam kehidupan nyata di dunia global.
PENGERTIAN ISLAM
Islam (Arab: al-islām, الإسلام dengarkan (bantuan·info): "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia,[1][2] menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di
dunia setelah agama Kristen.[3] Islam memiliki arti "penyerahan", atau
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: الله,
Allāh).[4] Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada
Tuhan"[5][6], atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki
dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah
menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa
Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus
ke dunia oleh Allah.
02:34
Jika menengok
sejarah agama-agama, dengan mudah akan dapat diketemukan fakta yang menunjukkan
bahwa banyak agama mengalami persebaran hingga keluar jauh dari wilayah asal
pertumbuhannya. Bahkan tak
jarang, suatu agama justru dapat berkembang dengan jumlah pengikut yang lebih
besar di wilayah lain di luar wilayah asalnya. Proses persebaran ini, seperti
dituturkan Park dapat mengambil pola-pola sebagai berikut:
Pertama, ekspansi, baik melalui kontak langsung (contagious) maupun hirarkis (hierarchical); Kedua, pola relokasi. Bersamaan dengan aliran persebaran tersebut, terjadilah proses perubahan dari segi pemahaman maupun praktek yang menunjukkan perbedaan karena faktor lokalitas dan tokohnya. Artinya, banyak agama mengalami perubahan dari aslinya ketika berkembang di wilayah lain. Faktor budaya dan kebiasaan lokal kerap memberi pengaruh terhadap bentuk kepercayaan dan perilaku keberagamaan sehingga muncul fenomena aliran-aliran. Fenomena ini tak terkecuali berlangsung juga dalam tradisi dan komunitas muslim. Untuk memotret hal ini menarik dicermati ulasan Harun Nasution yang menyebutkan bahwa dinamika kesejarahan Islam secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) periode besar perkembangan: (1) klasik; (2) pertengahan; dan (3) modern.
Pada periode klasik (650-1250 M), Islam mengalami dua fase penting: (1) Fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di fase inilah Islam di bawah kepemimpinan para khalifah mengalami perluasan pengaruh yang sangat signifikan, kearah Barat melalui Afrika Utara Islam mencapai Spanyol dan kearah Timur melalui Persia Islam sampai ke India. Masa ini juga ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (di bidang agama maupun non agama) dan kebudayaan. Dalam bidang hukum dikenal para imam mazhab seperti Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ibn Hanbal. Di bidang teologi dikenal tokoh-tokoh seperti Abu Hasan al-Asy’ari, al-Maturidi, Wasil ibn Atha’ al-Mu’tazili, Abu al-Huzail, al-Nazzam dan al-Juba’i. Di bidang ketasawwufan dikenal Dzunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lainnya lagi. Sementara dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan kita mengenal al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn al-Haytsam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi; (2) Fase disintegrasi (1000-1250 M) yang ditandai dengan perpecahan dan kemunduran politik umat Islam hingga berpuncak pada terenggutnya Baghdad oleh bala tentara Hulagu di tahun 1258 M.
Periode pertengahan (1250-1800 M) dapat dibaca juga dalam dua fase penting: (1) Fase kemunduran (1250-1500 M) yang penuh diwarnai perselisihan yang terus meningkat dengan sentiman mazhabiyah (antara Sunni dan Syi’ah) maupun sentimen etnis (antara Arab dan Persia). Pada masa inilah dunia Islam terbelah yang kemudian diperparah dengan meluasnya pandangan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sementara perhatian terhadap dunia ilmu pengetahuan melemah, kekuatan Kristen (dimana Perang Salib telah dimaklumatkan oleh Paus Urbanus II sejak dalam Konsili Clermont tahun 1095 M) justru kian menekan dunia Islam; (2) Fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M). Yang dimaksud disini adalah kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Pada masa kejayaannya, masing-masing kerajaan ini memiliki keunggulan khas di bidang literatur dan arsitektur sebagaimana terlihat melalui keindahan masjid-masjid dan bangunan lainnya yang lahir ketika itu. Sedangkan perhatian pada riset ilmu pengetahuan masih terbilang sangat kurang sehingga turut memberi kontribusi pada menurunnya kekuatan militer sekaligus politik umat Islam. Sisi lain, dunia Kristen dengan kekayaan yang terus berlimpah yang diangkut dari Amerika dan Timur Jauh semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan kekuatan militernya. Maka sejarah akhirnya mencatat, kerajaan Usmani terpukul kalah di wilayah Eropa, kerajaan Safawi terdesak oleh suku-suku Afghan, dan kerajaan Mughal kian mengkerut ditekan raja-raja India. Puncaknya, Mesir sebagai salah satu simbol dan pusat peradaban Islam ketika itu runtuh di bawah penaklukan Napoleon di tahun 1798 M.
Periode modern (1800 M dan seterusnya) dikenal sebagai era kebangkitan kembali umat Islam. Kekalahan demi kakalahan tampaknya mulai menyadarkan dunia Islam bahwa dunia Barat telah mengalami kemajuan sedemikian tinggi yang takkan mungkin terlawan dengan mengandalkan kekuatan di berbagai aspeknya yang berada dalam keadaan lemah ketika itu. Dari sinilah muncul ide-ide pembaharuan yang bermaksud merekonstruksi keadaan dan kualitas umat Islam sehingga memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi ekspansi militer, politik imperialis, dan juga peradaban kolonial Barat yang semakin massif.
REDEFINISI
Menerjemahkan sebuah istilah yang tidak ditemukan koridor
jelas merupakan sebuah persoalan rawan polemik. Kita yang sudah berabad-abad
lampau mentradisikan rujukan karya-karya orang-orang mulia sebagai kiblat
pemikiran, dipaksa harus berpikir sejenak ketika banyak karya baru yang kini
disodorkan di tengah-tengah kita. Kesulitan kita untuk mengikat pengenyam fiqh
dengan tali simpul normatif versi syariat mungkin justru akan menjadi bumerang.
Karena ketidak tegasan sikap kita akan dipahami sebagai bagian dari melegalkan
kebebasan membaca tanpa batas yang jelas berakibat penetrasi pemikiran
"kurang bertanggung jawab" akan semakin leluasa.
Harus kita pahami, mencuatnya persoalan ini adalah dari
usaha memahami kerangka dasar ahl as-sunnah wa al-jama'ah sekaligus tataran
prakteknya dalam berbagai aspek. Dalam arti, pengejawantahan prinsip ما
أنا عليه وأصحابي harus secara universal, baik dalam
akidah, syariah dan aspek-aspek lain termasuk perangkat-perangkatnya. Hal ini,
menurut Abî Sa'id al-Khâdimî, menghantarkan pada sebuah pemahaman bahwa ahl
as-sunnah wa al-jama'ah bukan hanya sekedar klaim, akan tetapi harus disertai
pembuktian ucapan dan perbuatan yang diselaraskan dengan al-Qur'an dan
as-Sunnah. Dan di masaku ini, kata al-Khâdimî, hal itu dapat dilihat dari
keselarasan dengan kitab besar seperti Shahih Bukhari dan
Muslim atau karya-karya terpercaya lainnya (Al-Barîqah syarh
at-Tharîqah, hal. 111-112).
Fenomena ini dapat kita sikapi dengan mencover telaah
ulama-ulama terdahulu yang kami rasa tingkat akurasinya sangat bisa
dipertanggung jawabkan.
Kita mulai dengan dasar-dasar pemikiran tentang standarisasi
rujukan dalam tataran bermadzhab.
& Madzhab Mudawwan Dan Ghairu Mudawwan
Persoalan ini meskipun sederhana namun sebenarnya paling
urgen. Artinya, keakuratan data serta otentifikasi telaah pemikiran ulama yang
hidup jauh sebelum kita jelas sangat terjamin apabila banyak dijumpai
karya-karyanya untuk kita jadikan rujukan. Imam al-Haramain menuqil dari
kalangan muhaqqiqin menyampaikan, prioritas tadwin terutama
diperuntukkan untuk kalangan awam. Karena dari pemikiran yang tidak mudawwan,
nilai ke-tsiqah-annya jelas dipertanyakan, dan pendapat ini didukung
Ibn as-Shalah. Menurut sebagian kalangan seperti Ibn as-Subki tidak membatasi
dengan tadwin dan tidaknya sebuah pemikiran. Akan tetapi menurutnya,
secara umum kedua kubu ini menyepakati, bahwa ketika masih dimungkinkan kita
mempelajari detail tentang pemikiran madzhab selain madzhahib al-arba'ah hingga
ditemukan pemahaman utuh, maka bagi kita diperbolehkan menggunakannya.
Pertanyaannya, apakah hal ini mungkin terjadi untuk saat ini ?. Paling obyektif
kalau kita katakan, tidak mungkin. Dan dengan melihat hal ini sangat tepat kita
tempatkan persyaratan tadwin sebagai kunci utama dalam sebuah rujukan
madzhab (lihat. At-Taqrîr wa at-Tahbîr, juz. III h. 354 dan al-Fatawi
al-Kubra, juz. IV h. 308).
& Kualitas Dan Kemasyhuran Sebuah Madzhab
Dua hal ini merupakan satu paket syarat yang saling terkait.
Dalam arti, langkah antisipatif mempertanggungjawabkan sebuah pemikiran
(madzhab) adalah dengan melihat kualitas kajian yang tentunya tidak lepas dari
dedikasi pengkaji. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang bertitel
mujtahid. Yakni mereka yang betul-betul paham tentang metode inferensi (istinbath)
dengan segala infrastrukturnya yang begitu rumit. Selama ini, jujur saja belum
ada manusia-manusia sekaliber mereka. Dan yang kita temui belakangan ini
hanyalah klaim dan perasaan sekelas dari mereka yang kapasitasnya hanya layak
kita juluki muqallid atau bahkan kelas awam. Di samping itu, intensitas
penukilan sebuah pemikiran juga semakin menopang keabsahan sebuah madzhab.
Terutama ketika sudah mencapai fase masyhur.
As-Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Makiy memaparkan bahwa
kemasyhuran sebuah madzhab merupakan penilaian lain selain tadwin, dan
hal inilah yang mendasari mayoritas ulama cenderung tidak melegalkan selain
madzahib al-arba'ah sebagai bahan rujukan. Karena melihat realitas lapangan,
empat madzhab inilah yang secara intensif dikembangkan dan masyhur di beberapa
negara. Sehingga menurut beliau, masih ada toleransi untuk madzhab selain
madzahib al-arba'ah ketika dijumpai masyhur di sebagian daerah, sebagaimana
madzhab Zaid bin 'Ali yang masyhur di sebagian Yaman. Namun menurut beliau,
selain masyhur, isi dari kitab-kitab kalangan Zaidiyah mayoritas senada dengan
pemikiran kalangan Hanafiyah dan Syafi'iyyah. Dan karena hal inilah mereka
boleh mempergunakan pemikiran Zaidiyah sebatas di kawasan mereka (Inârah
ad-Duja hal. 33-34).
& Sanad Dan Keaslian Sebuah Madzhab
Kepentingan sanad dalam sebuah karangan adalah membedakan
pemikiran yang masih membawa dasar-dasar jelas dan pemikiran baru yang
diwacanakan meskipun terkadang sejalan. Karena menurut dasar-dasar fiqh kita,
ijtihad yang diwacanakan orang-orang yang tidak berkompeten (mustaufi li
as-syurûth) selamanya tidak akan diakui meskipun hasilnya selaras dengan
madzhab yang telah ada. Faedah lain adalah untuk membuktikan pengakuan bahwa
sebuah kutipan adalah dari madzhab-madzhab terdahulu yang diakui. Dalam arti,
madzhab-madzhab selain madzhahib al-arba'ah yang sudah kehilangan intensitas
penukilan atau dapat kita katakan tidak masyhur meskipun mudawwan,
memerlukan persyaratan ini sebagai pembuktian keotentikannya (baca, Inârah
ad-Duja hal. 33-34).
Selain hal di atas, kitab-kitab yang hanya berisi penukilan
dan bukan mewacanakan ijtihad baru, semestinya tetap harus diklarifikasi
tingkat keadilan dan kejujuran pengarangnya. Karena disinyalir, meskipun dia
tidak mewacanakan ijtihad baru, menyampaikan sebuah pemikiran tentunya sangat mungkin
terjadi pengurangan, penambahan atau bahkan kebohongan (baca, Inârah ad-Duja
hal. 33-34, Qawâ'id al-Fiqh Li Muhammad 'Amîmi, juz. I h. 565 dan Is'âd
ar-Rafîq, juz. II. H. 90-91).
& Tema Dan Isi Sebuah Rujukan
Setiap kajian menuntut pertanggung jawaban moral, baik
kepada Allah maupun kepada sesama. Sehingga demi memenuhi pertanggung jawaban
ini, syariat sangat tidak mengijinkan umat Islam melemparkan ataupun
mengkonsumsi wacana-wacana yang sudah melewati koridor moral semacam ini.
Secara garis besarnya, setiap wacana tidak diperbolehkan menyalahi al-Qur'an,
al-Sunnah serta kesepakatan hukum ulama-ulama terdahulu. Mengenai hal ini,
Ar-Rafi'i memberikan garis batas muatan-muatan ilmu yang terlarang dengan
statemennya.
كل علم يشتمل على عقيدة باطلة أو
تخييل أو تدليس أو تصوير أو ضرر أو دعوى علم غيب أو نهى عنه الشرع فهو حرام
&
Konklusi Devinisi Kutub
Al-Mu'tabarah
Sebenarnya syariat hanya menggaris bawahi, bahwa rujukan
yang diperbolehkan untuk kita jadikan pedoman adalah Al-Kutub al-Mautsuq fi Shihatih (rujukan yang diakui
keotentikannya). Dan bahasa inilah yang sering kita istilahkan dengan Kutub
al-Mu'tabarah. Namun dalam tataran penerapan dalam berbagai jenis rujukan,
dapat kita jabarkan dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut.
v Pertama, Rujukan Dari Madzhab-Madzhab Masyhur.
Dalam
hal ini, kitab maupun wacana yang disandarkan pada madzhab-madzhab ini semuanya
dapat dijadikan rujukan, meskipun di luar madzahib al-arba'ah. Hanya saja jika
tingkat kemasyhurannya terbatas pada kawasan tertentu, pemikiran dari sebuah
madzhab masyhur tidak bisa dibawa keluar sebagai bahan rujukan.
Dan
untuk kitab-kitab hasil dari penukilan bukan dari ijtihad harus memenuhi syarat
penukilnya termasuk adil ataupun tsiqah.
v Kedua, Rujukan Dari Madzhab-Madzhab Yang Tidak
Masyhur.
Untuk
jenis ini perlu kita telusuri melalui uji kelayakan madzhab, mulai dari sanad
maupun kandungan ajarannya. Baru kemudian bisa kita katagorikan mu'tabarah.
v Ketiga,
Rujukan Non Madzhab.
Khusus
untuk bagian ini, kami rasa perlu kita berikan batasan-batasan tertentu sebelum
kita berani menilainya sekelas dengan kutub al-mu'tabarah. Di antara batasannya
adalah :
ü Tidak berseberangan dengan
al-Qur'an, as-Sunnah dan kesepakatan ulama.
ü Isi dan kandungannya jelas
dan tidak ilegal.
ü Di dukung oleh dalil umum
yang selaras.
ijin kopaz kang
BalasHapusInsyaallah dari pembahasannya sudah cukup bagus
BalasHapuskasih daftar pustakanya kak
BalasHapusbagus kak
BalasHapusdaftar pustaka kak
BalasHapus